Apakah Tepat – Mengirim siswa nakal ke barak militer bukanlah hal baru di Indonesia. Wacana ini terus berulang, muncul di tengah frustrasi publik akan tingkah laku remaja yang melampaui batas: tawuran brutal, bullying hingga kriminalitas. Beberapa kepala daerah bahkan pernah menggagasnya secara terbuka—seolah barak militer adalah “tempat penyucian” anak-anak bermasalah.
Tapi, mari berhenti sejenak. Benarkah barak militer adalah solusi? Atau justru pelarian dari sistem pendidikan yang tak mampu menyentuh akar masalah?
Disiplin Militer, Solusi atau Teror?
Barak militer dikenal dengan aturan ketat dan kedisiplinan tinggi. Anak-anak yang terbiasa melawan guru atau meremehkan orang tua, di tempat ini akan menghadapi lingkungan yang tanpa kompromi. Mulai dari bangun pukul 4 pagi, latihan fisik ekstrem, hingga pembatasan interaksi digital—semuanya dilakukan untuk membentuk karakter keras dan patuh.
Bagi sebagian pihak, metode ini dianggap manjur. Anak yang semula liar dan tak terkendali tiba-tiba pulang dengan rambut rapi, tubuh tegap, dan cara bicara penuh hormat. Ini semacam efek kejut—“shock therapy” yang diharapkan bisa menyadarkan mereka. https://athena-168.org/
Namun, apakah perubahan itu benar-benar dari dalam? Atau hanya topeng karena takut?
Psikolog dan Ahli Pendidikan Angkat Suara
Banyak psikolog perkembangan anak menolak mentah-mentah ide ini. Mereka menyebut pendekatan militeristik bisa menimbulkan trauma jangka panjang. Siswa yang dikirim ke barak militer belum tentu memiliki kesadaran bahwa perilakunya salah—mereka hanya belajar takut, bukan belajar memahami.
Selain itu, proses militerisasi ini berisiko mengabaikan faktor psikologis dan sosial yang membentuk perilaku siswa. Apakah anak tersebut datang dari keluarga bermasalah? Apakah ada tekanan ekonomi, kekerasan di rumah, atau kecanduan media sosial yang tak terkendali?
Barak militer tidak di lengkapi untuk menyentuh aspek ini. Justru anak yang butuh empati dan perhatian bisa merasa makin terisolasi, bahkan terhina. Bukan tidak mungkin, mereka balik menjadi lebih keras setelah keluar dari barak, menyimpan dendam dalam diam.
Pengalaman dari Lapangan
Beberapa sekolah yang pernah menerapkan program “boot camp” singkat mengakui efek positif jangka pendek. Para siswa lebih tertib, guru merasa di hormati, dan angka kenakalan turun drastis. Tapi begitu masa pelatihan usai dan mereka kembali ke lingkungan asal, kebiasaan lama muncul lagi.
Kenapa? Karena barak militer hanya mengubah perilaku permukaan. Tanpa perubahan sistemik—seperti penguatan konseling di sekolah, pelatihan guru menangani anak bermasalah, serta pelibatan orang tua—upaya ini hanya akan bersifat tambal sulam.
Di sisi lain, ada juga siswa yang merasa terbantu. Mereka mengaku lebih percaya diri, lebih mampu mengendalikan emosi, dan merasa punya tujuan setelah keluar dari pelatihan situs slot. Tapi jumlahnya sangat kecil, dan mayoritas hanya bertahan beberapa bulan.
Stigma Sosial dan Etika Pendidikan
Mengirim siswa ke barak militer bisa menciptakan stigma sosial yang melekat seumur hidup. Mereka akan di cap sebagai “anak gagal”, “nakal”, atau “sampah masyarakat” yang harus di karantina. Ini bertentangan dengan prinsip pendidikan yang seharusnya inklusif, memperbaiki, bukan mengasingkan.
Terlebih lagi, tidak semua siswa nakal berarti jahat. Banyak dari mereka hanya sedang mencari perhatian, identitas, atau pelarian dari tekanan. Ketika pendidikan justru membuang mereka ke sistem yang keras tanpa kasih sayang, kita sedang menciptakan generasi dingin yang tumbuh dalam rasa takut, bukan tanggung jawab.
Apakah itu yang kita inginkan?
Kalau kamu tertarik untuk eksplorasi pendekatan pendidikan anak bermasalah lainnya—seperti model Skandinavia, pendekatan restoratif, atau metode komunitas—aku bisa bantu jelaskan lebih dalam. Mau?